SELAMAT DATANG DI BLOG KUA CINAMBO




Rabu, 20 Juli 2011

Hukum Menikahkan Wanita Hamil diluar Nikah (Zina)

Hukum Akad Nikah Wanita Hamil diluar nikah (Zina)
Oleh : Ginanjar Nugraha, S.Th.I

Bagaimana Hukum akad nikah wanita hamil diluar nikah ?

Salah satu sebab haramnya menikahi perempuan adalah karena dia sorang pezina. Akan tetapi jika bertobat maka halal nikah dengan perempuan pezina tersebut. Akan tatapi masalah ini tidak cukup hanya dengan penjelasan yang singkat.
Ayat al-Quran yang menerangkan haramnya menikahi perempuan pezina adalah



Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin (An-Nur : 3)

Menurut Imam Ibnu Taimiyah “ Ketika Allah perintahkan hukuman bagi para pezina, maka Allah mengharamkan menikahinya bagi orang-orang mukmin sebagai pelajaran baginya. Karena mereka berbuat dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan. Ayat inipun menunjukan bahwa pezina tidak boleh dinikahi kecuali oleh pezina pula atau orang musyrik, dan hal tersebut diharamkan bagi orang beriman .

Pandangan para fuqaha bekaitan dengan haramnya menikahi orang yang berzina

Pendapat pertama, Mazhab Syafi’i
Jika seorang perempuan berzina maka tidak wajib baginya iddah, baik dalam keadaan hamil atapun tidak sama hukumnya. Bila dalam keadaan tidak hamil maka boleh bagi yang menzinahinya dan bagi yang lainnya (setelah bertobat) melakukan akad dengan perempuan tersebut. Jika dalam keadaan hamil hasil dari zina maka makruh menikahinya sebelum melahirkan

Pendapat Kedua, Madzhab Maliki
Dalam Kitab al-Mughni karangan Ibnu Qudamah al-Hambali “ Apabila perempuan berzina maka tidak halal bagi yang menengetahui hal tersebut menikahinya kecuali dengan dua syarat. Salah satu dari keduanya yaitu habis masa iddahnya, bila yang dalam keadaan hamil maka iddahnya adalah sampai melahirkan. Tidak halal menikahinya sebelum perempuan tersebut melahirkan.
Sedangkan dalam kitab al-Muhalla karangan Ibnu Hazm “Berkata Imam Malik : “ Janganlah menikahkan orang yang hamil zina sehingga melahirkan, begitu pula bila keadaaannya tidak hamil kecuali setelah menghabiskan masa iddah tiga quru’.

Pendapat Ketiga, Mazhab Dzahiriyah
Tidak ada iddah bagi perempuan pezina. Boleh menikahinya walaupun dalam keadaan hamil, akan tetapi bila menikahinya dalam keadaan hamil, maka tidak boleh bercampur dengannya sehingga lahir kandungannya sebagaimana dalam kitab al-Muhalla Ibnu Hazm “ Bila hamil zina maka boleh menikahinya sebelum lahir kandungannya, tapi tidak boleh bagi suami untuk bercampur dengannya sehingga lahir kandungannya”.

Ibnu Hazm berargumentasi Bahwa tidak ada dalam al-Quran maupun Sunnah kewajiban iddah atas perempuan hamil zina. Jika tidak dalam masa iddah maka tidak halal berhubungan badan dalam keadaan hamil kecuali dengan orang yang menghamilinya. Dan diriwayatkan, sesuai dengan pendapat kami, dari Umar bin Khatab, bahwasanya dia membolehkan menikahi perempuan yang berzina dan tidak ada pengecualikan sehingga habis masa iddahnya, begitu pula dalam keadaan tidak hamil.

Pendapat Keempat, Madzhab Hambali
Wajib bagi orang yang berzina iddah. Kemudian tidak boleh menikahinya sebelum habis masa iddahnya. Bila dalam keadaan hamil, maka tidak halal menikahinya sebelum melahirkan. Karena penunaian iddahnya adalah sampai melahirkan. Dikutip dalam kitab al-Mughni “Bila seorang perempuan berzina maka tidak halal bagi yang mengetahui itu nikahnya kecuali dengan dengan dua syarat, salah satunya yaitu habis masa iddahnya, bila hamilnya hasil zina maka masa iddahnya sampai melahirkan, tidak halal menikahinya sebelum lahir kandungannya.
Ibnu Qudamah berargumen dengan sabda Nabi saw. sebagai berikut :

“من كان يؤمن بالله و اليوم الأخر فلايسقي ماؤه زرع غيره”

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah menyiramkan airnya pada ladang yang lainnya (HR. Abu Dawud)

“لا تواطأ حامل حتى تضع”

“Janganlah menggauli orang yang hamil sampai ia melahirkan”

و روي عن سعيد بن مسيّب أنّ رجلا تزوّج إمرأة فلما أصابها وجدها حبلي فرفع ذلك إلي النبيّ ص ففرٌق بينهما و جعل لها الصداق و جلدها مائة <رواه أبو سعيد>

Dan dari Abi Said bin Musayyab sesungguhnya seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, ketika menggaulinya ia mendapatkan perempuan tersebut sedang hamil. Kemudian dia mengadukan hal tersebut pada Rasulullah saw. maka beliau memisahkan keduanya dan menjadikannya sebagai mahar, dan menderanya dengan seratus deraan (H.R. Abu Said)

Pendapat madzhab Hambali tidak boleh menikahkan pezina dan pasangan zinanya sebelum habis iddahnya. Karena syarat pelaksanaan iddahnya tergantung atas perempuan pezina. Hukumnya sama, bagi yang hendak menikahi perempuan pezina itu pasangan zinanya atau laki-laki yang lain .

Pendapat Kelima, Madzhab Ja’fariyah
Kalau seseorang berzina dengan seorang perempuan maka tidak haram menikahinya baik oleh pasangan zinanya maupun laki-laki yang lain. Walaupun perempuan tersebut terkenal dengan zinanya. Dan tidak adapula iddah bagi orang yang berzina karena zinanya. Boleh bagi perempuan tersebut untuk menikah dan boleh pula bagi suaminya untuk bercampur dengannya .

Pendapat Prof. Abdul Halim Mahmud
Akad nikah perempuan yang hamil diluar nikah sah. Apabila rukun dan syarat pernikahan terpenuhi, seperti wali, saksi dan mahar. Adapun status hukum hubungan sebelum akad adalah hubungan zina, dosa, dan pelanggaran hukum. Laki-laki dan perempuan yang melakukannya adalah pelaku pelanggaran hukum dan sanksinya adalah sanksi yang biasa dikenakan kepada pelaku perzinahan. Adapun anak yang lahir dari hubungan ilegal tersebut adalah anak zina.

Surat An-Nur ayat 3


Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin (An-Nur : 3)

Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa menikahkan wanita pezina dengan laki-laki yang menghamilinya adalah sah, apabila syarat dan rukunnya terpenuhi, seperti kosongnya rahim si wanita tersebut dari janin. Terkadang anak hasil zina dinisbatkan kepada laki-laki yang menghamilinya. Padahal, secara hukum Islam laki-laki tersebut bukan ayahnya.
Jadi laki-laki yang hidup serumah dengan seorang wanita di luar ikatan pernikahan yang sah boleh menikahi wanita tersebut. Selain itu, laki-laki ini tidak perlu menunggu habis masa iddah hamilnya. Sebab, air mani perzinahan sama sekali tidak terhormat. Tapi, walaupun begitu, dianjurkan untuk melaksanakan akad setelah beberapa waktu yang diperkirakan bahwa wanita tersebut jelas keadaannya, apabila tidak hamil. Hal ini dilakukan untuk mencari titik terang mana keturunannya yang dihamilkan dari perzinahan dan perkawinan yang sah. Sehingga, akan terjadi kejelasan mengenai penisbatan keturunan dan prosedur masalah waris. Perlu diketahui bahwa anak hasil zina tidak memiliki hak waris dari laki-laki yang menzinahi ibunya .

Ijtihad Dewan Hisbah PP. Persis
Pada Sidang tanggal 27 November 1993, Dewan Hisbah PP Persis menhasilkan beberapa keputusan penting mengenai menikahkan wanita hamil, sebagai berikut :

1. Menikahkan wanita hamil yang ditalaq suaminya hukumnya haram dan tidak sah sampai melahirkan, kecuali dirujuk oleh suaminya
2. Menikahkan wanita hamil yang ditinggalkan mati oleh suaminya hukumnya haram sampai ia melahirkan
3. Menikahkan wanita hamil hasil zina kepada laki-laki yang menzinahinya hukumnya haram sampai ia melahirkan
4. Menikahkan wanita hamil hasil zina kepada laki-laki lain (bulan yang menzinahinya) hukumnya haram dan tidak sah, sampai ia melahirkan.

Fatwa ini dikeluarkan mengingat persoalan kawin dengan wanita hamil akibat perzinahan menjadi fakta sosial yang terjadi dikalangan umat Islam. Seandainya masalah ini tidak dicegah, hal itu akan menjadi tradisi baru dikalangan umat Islam yang jelas-jelas melanggar ketentuan syariat Islam, baik yang berkaitan dengan hukum pernikahan maupun moral. Dalam makalah yang disusun oleh K.H. Ikin Shodiqin, salah satu anggota Dewan Hisbah, disebutkan bahwa menikahi atau menikahkan yang haram hukumnya haram. Jika terlanjur karena ketidaktahuan, tetap harus berpisah setelah ada yang memberitahu. Jika mereka memaksakan kelangsungan rumah tangganya, hukumnya zina.
Sebuah riwayat menerangkan bahwa pada zaman Umar bin Khatab seorang yang bernama Siba’ bin Tsabit menikahi perempuan yang bernama Mauhaib binti Rabbah. Keduanya masing-masing membawa anak, satu laki-laki dan perempuan. Karena terlalu dekat anak perempuan tersebut hamil. Masalah ini dibawa ke Umar bin Khatab. Beliau menghukum dengan seratus deraan dan menikahkan keduanya.
Dalam masalah ini, Umar bin Khatab tidak menutup keaiban dan dengan tegas menghukum keduanya. Karena itu sungguh tidak adil jika perbuatan Umar bin Khatab itu hanya ditiru dalam hal menikahkannya, tapi tidak dituntut kesalahannya. Meskipun kita berada di negara yang tidak menjalankan hukum Islam, selayaknya perbuatan zina tersebut mendapat hukuman agar perbuatan tersebut tidak terulang. Sebuah kaidah menyatakan
درء المفاسد مقدّم علي جلب المصالح
“Menolak kerusakan didahulukan daripada menarik manfaat”
Menurut kaidah ini, meskipun sah sebaiknya ditangguhkan sampai perempuan itu melahirkan. Pendekatan istinbat al-ahkamnya disebut dengan Saddu dzari’ah (preventif) .
Pendapat Tim Bahtsul Masail NU
Wanita yang hamil dari zina tidak mempunyai iddah, sehingga dia boleh dikawini oleh laki-laki yang berzina dengannya atau laki-laki lain dalam keadaan hamil.
Dasar pengambilan:
1. Kitab al-Madzahibul Arbaah juz 4 halaman 523
أمَّ وَطْءُ الزِّنَا فَإِنَّهُ لاَ عِدَّةَ فِيْهِ وَيَحِلُّ التَّزْوِيْجُ بِالحَامِلِ مِنَ الزِّنَا وَوَطْءُهَا وَهِيَ حَامِلٌ عَلَى الأصَحّ وَهَذَا عِنْدَ الشَّافِعى.
Adapun wathi zina (hubungan seksual di luar nikah), maka sama sekali tidak ada iddah padanya. Halal mengawini wanita yang hamil dari zina dan menyetubuhinya sedangakan di dalam keadaan hamil menurut pendapat yang lebih kuat. Pendapat ini adalah menurut madzhab Syafii.
2. Kitab Bughyatul Musytarsyidin halaman 201
(مسألَة ش) وَيَجُوزُ نِكَاحُ الحامِلِ مِنَ الزِّنَا سَوَاءٌ الزَّانِى أو غَيْرُهُ وَوَطْءُهَا حِينَئِذٍ مَعَ الكَرَاهَةِ.
(Masalah Syin) Boleh menikahi wanita hamil dari zina, baik oleh laki-laki yang berzina dengannya atau orang lain; dan boleh menyetubuhi waktu itu dengan hukum makruh.
Pendapat Majlis Tarjih
Jika A (laki-laki) dan B (perempuan) berzina lalu keduanya menikah ketika si B hamil, maka para ulama sepakat membolehkannya. Hal ini sejalan pula dengan KHI pasal 53 ayat (1) yang berbunyi: “Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya” dan ayat (2) yang berbunyi: “Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya”. Pernikahan itu sah dan keduanya boleh melakukan hubungan kelamin layaknya suami istri. Kemudian jika si B melahirkan anak hasil perzinaan tersebut setelah 6(enam) bulan dari pernikahan, maka anak tersebut dinasabkan kepada si A. Alasannya ialah, tempo kehamilan itu minimalnya adalah enam bulan menurut kesepakatan para ulama. Setelah itu si A bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berkenaan dengan anaknya itu seperti nafkah, pendidikan, kesehatan, perwalian, pewarisan dan lainnya sama persis dengan anak hasil pernikahan yang sah. Namun jika si B melahirkan anak hasil zina tersebut sebelum 6 (enam)bulan dari pernikahannya dengan A, maka anak tersebut dinasabkan kepada si B.Si A tetap bertanggung jawab atas nafkah, pendidikan dan kesehatannya, karena ia adalah anak istrinya. Tapi dari segi perwalian dan pewarisan, si A tidak berhak menjadi wali anak tersebut dan tidak warismewarisi dengannya.
Perlu diketengahkan di sini bahwa menurut peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, anak hasil zina yang lahir sebelum 6 (enam) bulan tersebut tetap dapat dinasabkan kepada si A, karena anak yang sah menurut KHI pasal 99 adalah: a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, b. Hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Demikian pula disebutkan dalam UU No. 1/1974 pasal 42: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. Besar kemungkinan, dalam KHI dan UU No. 1/1974 ditetapkan demikian adalah demi kemaslahatan dan kebaikan anak tersebut .

Penutup
Menurut penulis, masalah ini adalah maslah ijtihadi. Sehingga, sebagaimana dalam kaidah ushul fiqh “al-Ijtihadu layanqushu bil ijtihad” sebuah keputusan ijtihad tidak menggugurkan keputusan ijtihad yang lain. Walaupun demikian, ada baiknya kita meneliti dan mendiskusikan kembali argumentasi masing-masing madzhab dan menentukan mana yang terbaik, baik dari argumentasi maupun kemashlahatan umat.

Wallahua’alm bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar